Aku Mau ... | Feminisme dan Nasionalisme (2)

  • 0
Siang itu saya tidak melihat Kartini sebagai pejuang emansipasi wanita. Lewat sepucuk surat yang dikirimkan kepada sahabat penanya, Stella Zeehandelaar, Kartini curhat kegelisahannya tentang agama. Kala itu Kartini seusia saya, dan ia benar-benar memikirkan apa yang tidak terpikirkan oleh saya. Andai Kartini masih ada, saya ingin bertemu, berdiskusi, mencerewetinya dengan bermacam-macam hal.
sumber: google

Agama saya islam. Tertulis begitu adanya di KTP. Sebelum masuk TK saya sudah diajari mengaji. Saya dititipkan kepada seorang guru ngaji yang juga guru agama di salah satu sekolah dasar. Setelahnya saya khatam Al-Qur'an untuk kali pertama. Kemudian kedua, tiga dan seterusnya. Setahun belakangan saya menggunakan jilbab. Apa karena saya beragama islam? Hmm.. saya akan menjawabnya begini saja: karena hati dan Tuhan saya. 

Agama saya islam. Dan sejak kecil sudah diajarkan sholat lima waktu. Sholat tarawih, tahajjud dan sebagainya. Diajari membaca do'a-do'a makan, tidur, keluar rumah, berkendara, memulai pelajaran dan lain-lain. Hampir semua ada doanya. Jika ingat, saya akan berdoa lengkap. Tapi lebih sering lupanya, lalu saya mengawalinya cukup dengan basmalah dan mengakhiri dengan hamdalah saja. 

Agama saya islam. Beranjak tua, saya mulai belajar membenahi apa-apa yang sudah diajarkan sejak kecil. Karena kenyataannya, meski saya islam, harus saya akui, saya bukan manusia yang taat beribadah. Mengaji jika ada orang meninggal, berziarah, dan tadarrus disaat ramadhan saja. Sholat yang tidak ganjil 5 waktu. Do'a yang sering terlupakan. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Saya beranjak tua, dan mulai membenahi hidup.

Agama saya islam dan R.A Kartini juga beragama islam. Apa Kartini yang pejuang emansipasi wanita itu adalah manusia yang taat ibadah, mengingat agamanya islam?

Siang itu, Kartini yang harum namanya itu, bercerita tentang agama. Jauh sebelum ada MUI dan fatwa-fatwanyaFPI (Front Pembela Islam), Suni dan Syiah dan segala macam peristiwa heboh yang kaitannya dengan agama saat ini, Kartini sudah lebih dulu gelisah dan resah!

Di perpustakaan, Kartini bercerita pada saya. Gaya berceritanya tidak terlalu berkobar-kobar seperti Ratna Sarumpaet. Dia biasa saja. Kalem, gelisah, potretnya masih persis seperti yang saya lihat di poster yang ditempel di dinding-dinding kelas.

Jepara, 6 November 1899
(Surat Kartini yang ditujukan kepada Stella Zeehandelaar)

Disini, tidak ada yang tahu bahasa Arab. Memang, orang-orang diajari membaca Al-Qur'an tapi mereka tidak tahu apa yang mereka baca. Menurutku ini lucu, mengajar orang membaca tanpa harus tahu artinya, seperti kau mengajariku membaca buku bahasa Inggris dengan bagus tapi tanpa memberitahuku artinya sepatah katapun. 

Sejujurnya, aku sampai beragama Islam karena nenek-moyangku juga beragama Islam. Bagaimana aku bisa menghidupi ajaran itu jika aku tidak tahu ajaran, atau tidak boleh tahu? Al-Qur'an terlalu suci untuk diterjemahkan kedalam bahasa apapun.Jika aku mau dan berkesempatan untuk mendalami ajaran agamaku, aku akan pergi ke Arab dan belajar bahasa di sana.

Tapi kita bisa menjadi orang baik tanpa harus menjadi religius kan, Stella? Dan yang paling penting adalah menjadi orang baik.
Oh Tuhan, kadang aku berpikir bahwa agama lebih baik tidak ada saja. Karena justru agama-lah yang jadi penyebab perselisihan, perpecahan dan pertumpahan darah, dan bukan menjadi tali pemersatu umat manusia. Saudara kandung saling berselisih hanya karena berlainan keyakinan. Perbedaan antara Gereja juga mengakibatkan dinding pemisah bagi dua hati yang berkasih-kasihan.

...namun, berapa banyak dosa yang telah diperbuat atas nama agama?
Kartini menuliskannya 114 tahun yang lalu, dan saya malu.

Saya jadi teringat sms dari seorang sahabat. Dia menanyakan pendapat saya tentang: apakah kamu percaya bahwa surga itu ada? Lalu saya menjawab, entahlah.. mungkin karena keyakinan saya mengatakan bahwa Tuhan itu ada, mungkin saja surga juga ada. Sahabat saya bilang lagi: Saya tidak percaya agama apapun. Tapi saya percaya Tuhan itu ada. Pun surga juga ada. 

Pemikirannya bisa jadi hampir sama dengan Kartini. Agama apapun, kaitannya dengan hati dan keyakinan setiap manusia. Dan itu bebas sebebas-bebasnya.

Surat Kartini itu, jauh sebelum heboh fatwa-fatwa MUI, jauh sebelum FPI yang anarkis, jauh sebelum gereja-gereja di bom oleh teroris islam yang katanya demi jihad, dan Suni Syiah, dan aliran-aliran sesat yang dulu marak. 

Kartini,
114 tahun yang lalu...

Aku Mau ... | Feminisme dan Nasionalisme (1)

  • 0
Setiap Kamis malam, saya selalu berusaha pulang ke rumah lebih cepat. Ada acara televisi yang mendadak jadi favorit. Kompas TV: Bab Yang Hilang. Setelah acara itu selesai, saya beralih ke Metro TV: Menolak Lupa! Dua program yang mirip, dan saya suka. Mengulas tentang sejarah; arsip, tokoh-tokoh yang sangat berjasa tapi kerap sama sekali tidak terpublikasi, bangunan bersejarah, wartawan/wati yang ditahan dan tulisannya dibredel, dll. 

Suatu waktu, dua televisi berbeda dengan program yang hampir sama, di jam tayang yang sama, mendatangkan nara sumber yang sama pula, yakni sejarawan JJ Rizal. Di televisi A sang sejarawan bercerita tentang kharismatik Bung Karno dengan benda-benda mistik yang dipunyai. Sementara di TV lainnya lagi, sang sejarawan gamblang mengulas (juga) tentang detik-detik kematian Bung Karno. Saya bingung mau nonton yang mana. Keduanya sama-sama menarik. Mungkin lebih baik televisi dimatikan saja, dan saya menemui langsung JJ Rizal untuk minta diceritakan semua-muanya. Tapi urung saya lakukan. Jika TV A sedang memutar iklan, saya pindah ke TV B, bergantian seterusnya. 

Di TV C dan D muncul lagi JJ Rizal. Apa sejarawan Indonesia cuma dia seorang? Atau jangan-jangan memang sedang naik daun saja, dan rejeki mengalir untuknya. Tapi tentang sejarah memang selalu menarik disimak, siapapun nara sumbernya. Saya akhirnya juga ingin menjadi sejarawan. Hehe..

Sudah lumayan lama saya dijejali tentang sejarah. Dari SD sampai SMA, belajar sejarah. Tidak terlalu menarik. Tapi belakangan karena ulah beberapa teman yang kerap bercerita sejarah kota, mengajarkan saya mencintai sejarah, dan bukankah Bangsa yang besar adalah Bangsa yang menghargai sejarah? Begitu kalimatnya. Iya, mungkin sejak itulah baik tentang sejarah Indonesia terdahulu, sejarah kota, bahkan sejarah terbentuknya sebuah meja pun ingin saya ketahui.

Pembuka yang sangat panjang ya tulisan diatas. Tapi jangan lupa nonton. Serius, acaranya keren! :)

Seringnya menonton acara televisi yang mengulas tentang sejarah, tapi saya belum pernah menonton edisi R.A Kartini. Jika ia masih hidup, mungkin saya akan diprotes, "tidak perlu memakai embel Raden Ajeng. Panggil aku Kartini saja. Aku sama sepertimu.." Anggap saja saya sedang akan menayangkan program serupa, lalu edisinya tentang Kartini. Ah, tidak-tidak... saya hanya ingin menulis ulang Buku yang berisi kumpulan-kumpulan surat Kartini kepada seorang sahabat penanya, Stella Zeehandelaar. Ini kali pertama saya sedikit tahu tentang Kartini, selain hanya tahu lagu "Ibu Kita Kartini" dan yang lahirnya di Jepara itu. Sungguh setelah membaca buku ini, saya lumayan banyak mengenal Kartini selain yang di lagu itu. Hehe... Mengingat melihat covernya saja kurang menarik, tebal dan saya mendapatkannya di Perpusda Bondowoso deretan rak sastra. Saya tertarik bukan karena judulnya, tapi karena kata pengantarnya adalah ocehan Goenawan Mohamad. Masih membaca kata pengantar dari GM yang bahasanya lumayan baku dikepala dan saya mulai mengantuk. Tapi itulah GM. Seperti terus didorong untuk membaca sampai akhir. Saya mulai membaca dan mari kita kenalan dengan Kartini, yang harum namanya itu...




Kamu tahu motto hidupku?
"Aku mau". Dan dua kata
sederhana ini telah
membawaku melewati
gemunung kesulitan.
"Aku tidak mampu"
menyerah. "Aku mau!"
mendaki gunung itu. Aku
tipe orang yang penuh
harapan, penuh semangat.
Stella, jagailah selalu
api itu! Jangan biarkan
dia padam. Buatlah aku
selalu bergelora, biarkan
aku bersinar, kumohon.
Jangan biarkan
aku terlepas.


Kartini, Sebuah Persona
Goenawan Mohamad

Kartini: satu tokoh epik dan tokoh tragik sekaligus. Dalam pelbagai segi ia memenuhi syarat untuk itu: perempuan rupawan, cerdas, perseptif, pemberontak tapi juga anak bupati Jawa, penuh cita-cita pengabdian tapi juga lemah hati, dan sementara itu terpojok, kecewa, terikat, dan akhirnya meninggal dalam umur 24 tahun.