Aku Mau ... | Feminisme dan Nasionalisme (1)

  • 0
Setiap Kamis malam, saya selalu berusaha pulang ke rumah lebih cepat. Ada acara televisi yang mendadak jadi favorit. Kompas TV: Bab Yang Hilang. Setelah acara itu selesai, saya beralih ke Metro TV: Menolak Lupa! Dua program yang mirip, dan saya suka. Mengulas tentang sejarah; arsip, tokoh-tokoh yang sangat berjasa tapi kerap sama sekali tidak terpublikasi, bangunan bersejarah, wartawan/wati yang ditahan dan tulisannya dibredel, dll. 

Suatu waktu, dua televisi berbeda dengan program yang hampir sama, di jam tayang yang sama, mendatangkan nara sumber yang sama pula, yakni sejarawan JJ Rizal. Di televisi A sang sejarawan bercerita tentang kharismatik Bung Karno dengan benda-benda mistik yang dipunyai. Sementara di TV lainnya lagi, sang sejarawan gamblang mengulas (juga) tentang detik-detik kematian Bung Karno. Saya bingung mau nonton yang mana. Keduanya sama-sama menarik. Mungkin lebih baik televisi dimatikan saja, dan saya menemui langsung JJ Rizal untuk minta diceritakan semua-muanya. Tapi urung saya lakukan. Jika TV A sedang memutar iklan, saya pindah ke TV B, bergantian seterusnya. 

Di TV C dan D muncul lagi JJ Rizal. Apa sejarawan Indonesia cuma dia seorang? Atau jangan-jangan memang sedang naik daun saja, dan rejeki mengalir untuknya. Tapi tentang sejarah memang selalu menarik disimak, siapapun nara sumbernya. Saya akhirnya juga ingin menjadi sejarawan. Hehe..

Sudah lumayan lama saya dijejali tentang sejarah. Dari SD sampai SMA, belajar sejarah. Tidak terlalu menarik. Tapi belakangan karena ulah beberapa teman yang kerap bercerita sejarah kota, mengajarkan saya mencintai sejarah, dan bukankah Bangsa yang besar adalah Bangsa yang menghargai sejarah? Begitu kalimatnya. Iya, mungkin sejak itulah baik tentang sejarah Indonesia terdahulu, sejarah kota, bahkan sejarah terbentuknya sebuah meja pun ingin saya ketahui.

Pembuka yang sangat panjang ya tulisan diatas. Tapi jangan lupa nonton. Serius, acaranya keren! :)

Seringnya menonton acara televisi yang mengulas tentang sejarah, tapi saya belum pernah menonton edisi R.A Kartini. Jika ia masih hidup, mungkin saya akan diprotes, "tidak perlu memakai embel Raden Ajeng. Panggil aku Kartini saja. Aku sama sepertimu.." Anggap saja saya sedang akan menayangkan program serupa, lalu edisinya tentang Kartini. Ah, tidak-tidak... saya hanya ingin menulis ulang Buku yang berisi kumpulan-kumpulan surat Kartini kepada seorang sahabat penanya, Stella Zeehandelaar. Ini kali pertama saya sedikit tahu tentang Kartini, selain hanya tahu lagu "Ibu Kita Kartini" dan yang lahirnya di Jepara itu. Sungguh setelah membaca buku ini, saya lumayan banyak mengenal Kartini selain yang di lagu itu. Hehe... Mengingat melihat covernya saja kurang menarik, tebal dan saya mendapatkannya di Perpusda Bondowoso deretan rak sastra. Saya tertarik bukan karena judulnya, tapi karena kata pengantarnya adalah ocehan Goenawan Mohamad. Masih membaca kata pengantar dari GM yang bahasanya lumayan baku dikepala dan saya mulai mengantuk. Tapi itulah GM. Seperti terus didorong untuk membaca sampai akhir. Saya mulai membaca dan mari kita kenalan dengan Kartini, yang harum namanya itu...




Kamu tahu motto hidupku?
"Aku mau". Dan dua kata
sederhana ini telah
membawaku melewati
gemunung kesulitan.
"Aku tidak mampu"
menyerah. "Aku mau!"
mendaki gunung itu. Aku
tipe orang yang penuh
harapan, penuh semangat.
Stella, jagailah selalu
api itu! Jangan biarkan
dia padam. Buatlah aku
selalu bergelora, biarkan
aku bersinar, kumohon.
Jangan biarkan
aku terlepas.


Kartini, Sebuah Persona
Goenawan Mohamad

Kartini: satu tokoh epik dan tokoh tragik sekaligus. Dalam pelbagai segi ia memenuhi syarat untuk itu: perempuan rupawan, cerdas, perseptif, pemberontak tapi juga anak bupati Jawa, penuh cita-cita pengabdian tapi juga lemah hati, dan sementara itu terpojok, kecewa, terikat, dan akhirnya meninggal dalam umur 24 tahun.

No comments:

Post a Comment