Perempuan Yang Tertutup

  • 0
Salam Ramadhan, Tikus mati...

Percayalah, saat menuliskan ini, saya sedang tidak bersama tikus-mati. Lama blog ini tidak dikunjungi saya, pun Anas. Mungkin kami sedikit sibuk. Iya, sibuk yang sedikit, hingga harus melupakan sebentar-sebentar blog ini. Anggap saja ini paragraf pembuka yang gagal dan tidak manis. :3

Saya sedang ingin bercerita, tentang satu hal yang indah. Yang indah-indah. Tentang sebuah kotak yang bernama Perempuan. Saya, perempuan. Perempuan dengan perubahan yang segala macam. Adalah perempuan ibu yang pernah kecil dan mungil, kemudian tumbuh-kembang sedemikian rupa. Fisik, psikis. Jika saya menjabar beberapa fase dan masa saat saya berada di level-level itu, cukup panjang dan menyita waktu. Tapi cukuplah dimulai dari sebuah tweet. Ya, kadang memang menulis bisa terinspirasi dari tulisan orang lain yang tanpa sadar pun tidak, kita baca. 

Ialah @prayasti, seorang teman di twitter, yang terpaksa awalnya dulu saya mewajibkannya untuk follback akun saya, dikarenakan suatu hal. Bukan modus untuk menambah follower. Asli. --"

Ketika itu banyak tweet berserakan di linikala, termasuk tweetnya @prayasti, saya manggilnya Dek Laras. Ada satu tweet yang membuat saya tersenyum membacanya:


Kenapa saya tersenyum? Beberapa waktu dulu, saya pernah menuliskan kalimat yang sama di twitter. Tepatnya, ketika saya baru-barunya membulatkan niat untuk memakai jilbab. Dan Laras, Alhamdulillah juga menyamakan niat, memilih untuk berjilbab. Beberapa kali kami saling berkicau, meracau perkara jilbab. Ini-itu dan segala macam keindahannya. Iya, berjilbab itu indah.

Apa yang dirasakan Laras, pernah juga saya rasakan diawal memakai jilbab. Ada penyesalan banyak-banyak, tentang: mengapa tidak dari dulu saya berjilbab. Sungguh betapa alay-nya ketika saya menyiakan waktu berbulan-bulan lamanya untuk berulang-menimbang "pakai jilbab atau tidak". Setelah tahu rasanya, lalu saya membodoh-bodohi diri. Kenapa... kenapa.. kenapaaaah!

Ini sebuah proses seorang remaja perempuan modern yang terjebak dalam pergaulan jaman sekarang dengan seperangkat kecanggihan teknologi disekitarnya. Iya, saya mengakui itu, karena saya juga pelaku disini. Pura-pura kelewat sholat, karena terlalu serius internetan di depan laptop. Ngopi berlama-lama, hingga ibadah terlupa lagi. Namun, tetiba ada perasaan yang amburadul, ketika kepala saya ingin terus-menerus mempertanyakan tentang jilbab. Hidayah? Bukan.. bukan! Saya amat sangat tidak setuju, jika berjilbab itu harus menunggu hidayah dan semacamnya. Ada beberapa hal konyol yang sempat saya lakukan sebelum benar-benar berjilbab. 4 sahabat laki-laki, saya tanyai pendapatnya tentang perempuan yang berjilbab. Jawabannya beragam. 

"Perempuan berjilbab? Bagus sih. Tapi kalau aku disuruh memilih antara perempuan berjilbab dengan yang tidak, pilihanku adalah perempuan yang tidak berjilbab. Menurutku perempuan yang rambutnya terurai panjang, terlihat lebih manis dan feminin. Jangan bilang, kamu mau pakai jilbab?"

3 sahabat lainnya, jawabannya seragam. Pendapat mereka tentang perempuan yang tertutup dengan yang tidak. Mereka mempunyai analogi yang lucu-lucu dan masuk diakal, beberapa bahkan juga meledek, "Jangan hanya ikut-ikutan trend, mode. Berjilbablah karena memang kamu ingin menutupi. Tapi, memangnya kamu mau berjilbab? Waaah bagus dong! Saya dukung!" kata lainnya lagi. :)

3 banding 1. Itu tidak cukup untuk membulatkan tekad saya. Karena ternyata, saya bermasalah dengan diri saya sendiri. Mungkin saya termasuk perempuan tomboy, pencila'an, kurang santun, ceplas-ceplos, extrovertlaaah. Kepribadian yang kemudian menjadi kaca diri: Saya seperti itu, apa pantas perempuan seperti itu berkerudung? 

Masalah lainnya lagi, saya senang berolahraga sejak kecil. Celana-celana pendek, kolor-kolor basket, koleksi kaos tim volly yang nyaris setiap hari saya pakai di rumah dan jogging keliling alun-alun. Lalu: Saya harus say good bye sama celana-celana pendek yang isis itu?

Kemudian, rambut. Meskipun saya tomboy, tapi rambut selalu panjang. Adalah bagian favorit yang saya punya dan selalu saya rawat, ya rambut ini. Dan: Bagaimana jika ditutup terus? Kapan saya bisa memamerkan rambut saya, meski hanya kadang-kadang?

Ditambah Ibu dan Bapak dirumah, yang selalu marah ketika saya menonton tv dengan mengenakan celana olahraga pendek, atau mereka suka sebel meski saya hanya pergi ke warung peracangan deket rumah, lalu diharuskan memakai celana panjang. Padahal di dalam rumah, kenapa harus dimarahiiiiin? Kejengahan itulah juga yang membuat saya berpikir, saya masih muda, saya bebas berekspresi, saya melakukan apa yang saya sukai. Kenapa harus diatur-atur? 

"Banyak diluar sana, perempuan berjilbab tapi tidak tahu aturan! Pencila'an. Banyak. Masih mending begini. Ngga pakai jilbab, tapi ngga macem-macem." Iya, saya sempat seperti itu.

Aaaarrrggghh...! >,<
6 bulan. Selama itulah saya berperang melawan diri. Antara iya dan tidak untuk berjilbab. Surat An-Nisaa, searching gugel tentang hadist-hadist perempuan berjilbab dan melihat sekeliling. Hingga Ramadhan tahun lalu, saya mulai belajar. Belajar mengenakan jilbab berlama-lama. Berjilbab didalam rumah, berjilbab sambil tidur, berjilbab jika ada tamu, teman. Kemudian memperbaiki sholat yang bolong-bolong. Itu beriringan, entah kenapa. Ada manusia lain di dalam diri yang seakan mendorong untuk: mulailah memperbaiki yang kecil-kecil, pelan-pelan. Dan, hati semakin mantap untuk berjilbab. Tertutup. 

Salam terakhir seusai sholat Ied, saya melihat langit yang sepertinya setiap hari Idul Fitri, warna birunya lebih biru daripada hari biasanya. Mungkin karena hati saya sedang biru dan fitri. *sampe sini drama banget* Masih sambil lihat langit, seakan saya sedang ngobrol aja sama Allah SWT, dalam hati saya nawaitu, "Sepulang dari masjid ini, jilbab ini bakal terus saya pakai Ya Allah. Mohon, mantapkan selalu hati saya Ya Allah.. Saya berjilbab untukMu, karenaMu"

Sepulangnya dirumah diledekin, "beneran mau istiqomah pakai jilbab? rambut, celana pendek? bla.. bla.. bla.." dan seterusnya hingga detik ini, saya masih dan akan terus berjilbab sampai dipanggil. :)

Ada banyaaaak, banyak-banyak sekali hikmah, sesal, haru, keajaiban-keajaiban kecil ketika saya mulai dan terus berjilbab. Perbaikan-perbaikan kecil itu, terus berlangsung sampai sekarang. Saya belum bener, saya suka mengeluh, saya kurang bersyukur, saya belum ngabdi sungguh-sungguh sama orang tua, saya masih sangat kurang, saya masih sedikit, saya masih jauuuuuh dari surga. 

Ketika berjilbab, saya mulai mengerti, inilah hidup yang sesungguhnya. Bukan hanya duniawi, tapi saya juga harus mempersiapkan diri untuk bertemu denganNya. Dengan jilbab, seperti otomatis ada dorongan untuk terus menggali dan memperdalam ilmu agama. Setidaknya santun dan malu pada diri sendiri. Jilbab ini sesungguhnya pengingat, pengantar saya untuk terus bisa dekat-dekat denganNya. Bagaimanapun caranya. :')) 

Tantangan berikutnya, saya sedang belajar meninggalkan celana panjang dan baju ketat untuk segera digantikan dengan gamis atau semacamnya. Menuju syar'i. #tsaaah

Saya tidak punya analogi, quote atau kata mutiara hikmah apapun perkara jilbab. Tertutuplah, maka semua ragu akan terjawab.

No comments:

Post a Comment